Setelah mencermati proses perjalanan hidup kami, selama 11 tahun mengarungi bersama bahtera rumah tangga ini, aku merasa menemukan sebuah hal mendasar yang sepertinya bisa kujadikan benang merah dasar-dasar proses pembelajaran keluarga kami.
Aku dan suami merasa sebagai orang gagal setelah usia kami beranjak senja. Akibatnya kita bahkan memulai dari nol atas segala hal yang ingin kami capai saat ini. Sedangkan anak sulung kami kini telah menapaki usia 10 tahun, sebuah usia yang cukup kuwaspadai karena usia ini adalah awal usia kematangan atas hidup seorang lelaki. Dalam benak kami, seorang anak laki-laki hendaknya memang telah siap dengan segala kewajiban sejak ia menjelang usia baligh. Usia baligh adalah usia siap, bukan usia mencari jati diri. Itulah salah satu hal yang mendasari pola pikir kami menarik Fathin dari bangku sekolah saat ia berusia 8 tahun. Kami tidak ingin Fathin mengalami kegagalan serupa dengan yang dialami oleh kedua orang tuanya.
Kami ingin mengantarkan Fathin mengais bekal yang benar-benar dibutuhkan saja menghdapai masa balighnya. Segala yang tidak ia butuhkan tak perlu diberikan, cukuplah ia menjadi matang atas sedikit hal urgent yang memang menjadi tanggung jawabnya semenjak baligh. Aqidah yang kuat, ibadah yang benar-benar karena taat, cara belajar yang tepat, cara berpikir yang sehat, maisyah yang penuh berkat, ah...terlalu ideal kah? Tidak. Inilah yang ia butuhkan untuk balighnya. Tidak perlu menunggu jiwanya rapuh karena terisi dengan hal lain yang kurang berguna lalu membersihkannya dan mengisinya lagi, tidak perlu menunggu usianya beranjak baru sibuk mencari jati diri, tidak perlu mengisi penuh otaknya dengan jejalan ilmu akademik yang menumpuk yang sebenarnya tidak begitu banyak diperlukan untuk sebuah kematangan hidup. Cukuplah bekal itu, dan jadilah master dalam kebaikan. Nahnu du'at qobla kulli syaik adalah filosofi yang harus selalu dipegang. Kita adalah da'i sebelum menjadi apapun. Hidup dimanapun menggunakan landasan yang jelas, kebaikan.
Ya...itulah benang merah yang telah mulai kulihat. Bekal yang cukup itu ada pada Al-Qur'an. Jika Qur'an di tangan maka hidup akan berada pada relnya. InsyaAllah kurikulum itu segera kumatangkan. Aku ingin memiliki pegangan yang jelas setiap kali mendampingi anak-anakku menjelajahi dunia indahnya. Memperkuat pegangan terhadap Al-Qur'an dengan kokoh ma'isyah sebagai materi utamanya. Ma'isyah kami telusuri lewat entepreneur, jadilah sebuah kalimat penggugah untuk kami sekeluarga Al-Qur'an and Eduentrepreneur Family. Semoga Allah SWT berkenan memberikan petunjuk-Nya dan memberiakn kekuatan berlimpah di pundak-pundak kami, amin...
Minggu, 23 Oktober 2011
Prakarya "Robot Kabel" dari Bahan Bekas
Ketika kusampaikan tentang lomba membuat Prakarya dari Bahan Daur Ulang/Bahan Bekas, 'Abdan yang memang sedang memainkan 'Robot Kabel' nya segera menyambut tawaranku dengan antusias. Segera saja kuminta ia mengulangi pembuatan mainan sederhananya itu. Kemudian kuambil gambarnya dan siap untuk didokumentasikan.
'Robot Kabel' -nama pilihan 'Abdan sendiri- ini ia temukan berawal dari kegiatannya mengikuti Fathin, sang kakak membongkar-bongkar keyboard bekas. 'Abdan menemukan potongan kabel dari bongkar-bongkarnya itu. Lipat sana, lipat sini, terbentuk setengah jadi sebuah orang-orangan tanpa tangan. Ketika kutawari untuk ikut lomba kusarankan ia mencari lagi potongan kabel yang masih tersisa untuk disambung menjadi tangan. Setelah disambung jadilah orang-orangan 'Robot Kabel ' itu...Berikut bahan dan cara pembuatan ''Robot Kabel'...
Bahan :
Cara Membuat :
Bahan :
![]() |
Bahan : Potongan kabel bekas, dikupas sebagian kulitnya |
Cara Membuat :
![]() |
Pertama : 'Abdan memasukkan ujung kabel kecil (hitam) ke potongan kabel besar (putih) |
![]() |
Potongan kabel yang telah dilipat menghasilkan bentuk seperti ini |
![]() |
Kedua : 'Abdan menyambung kedua potongan kabel itu |
![]() |
Hingga menghasilkan bentuk seperti ini |
![]() |
Ketiga : 'Abdan menggunting potongan kabel besar untuk membuat tangan robotnya |
![]() |
Keempat : Memasukkan isi kabel untuk mengikat |
![]() |
Kelima : 'Abdan mengikat kabel putih itu |
Dua puluh bulan
Dua puluh
bulan
Ya, begitulah. Aku merasa grafik kebahagiaanku senantiasa menanjak sejak kami menjalani home education. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa mengetahui setiap perkembangan anak-anakku. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa belajar bersama anak-anak. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Kami bersama-sama memulai. Kami bersama-sama menjalani. Sebuah pelajaran berharga atas permasalahan keluarga yang tak kunjung usai dari kehidupan kami juga menjadi bagian dari proses belajar itu. Kondisi ekonomi yang sering menjadi masalah bahkan bisa menjadi proses belajar yang luar biasa. Bisa dibilang aku dan suami memang sedang belajar bagaimana keluarga kami bisa mencapai skor financial yang ideal. Bersamaan dengan itu pula kami juga berusaha membimbing anak-anak untuk memiliki skor financial yang ideal sejak sekarang. Sebagian orang mengatakan, bagaimana bisa mengajarkan kepada anak kita sesuatu yang belum bisa kita lakukan, baguskan diri dulu baru diajarkan kepada anak. Tapi kami mempunyai pandangan yang berbeda. Kami memulai bersama, sama-sama dari nol. Bisa jadi selama perjalanan itu anak-anak berjalan lebih cepat dan kami justru belajar dari mereka, tidak masalah. Justru di situlah kebahagiaan itu muncul.
Salah satu hal penting dalam proses home education
adalah mendokumentasikan setiap proses belajar anak-anak. Ini sebagai salah
satu bentuk evaluasi proses belajar yang sedang berjalan. Evaluasi tertulis
yang disertai dengan foto-foto kegiatan sangat diperlukan sebagai salah satu
cara mengukur perkembangan belajar anak-anak. Berbeda dengan evaluasi yang ada
pada proses belajar di sekolah, evaluasi berupa portofolio karya ini memiliki
nilai lebih, tidak hanya mengandalkan proses evaluasi sesaat (baca: nilai
rapor) hitam di atas putih saja, tapi lebih pada evaluasi tentang proses
belajar yang dijalani anak. Orientasi bukan pada hasil, tetapi lebih
mengandalkan setiap proses dan jerih payah yang dilakukan. Semua itu perlu
dihargai. Setiap yang layak dipelajari layak pula untuk dirayakan. Ini melatih
anak dan orang tua untuk senantiasa menggunakan nilai-nilai positif dalam
setiap proses belajar. Dan lebih dari itu, proses evaluasi melalui catatan
portofolio melahirkan energi positif yang luar biasa baik bagi orang tua maupun
anak, karena setiap kejadian yang dituangkan dalam bentuk tulisan akan
melahirkan kebahagiaan.
Meski demikian faham tentang pentingnya
mengabadikan setiap proses belajar anak-anakku lewat catatan portofolio, toh
aku masih lemah untuk bisa menjalaninya dengan baik. Terbukti sampai saat ini,
dua puluh bulan home education berjalan, baru 2 artikel yang aku pasang di blog
ini. Bukan berarti di tempat lain sudah tersimpan banyak, tidak, blog ini bisa
digunakan sebagai ukuran, seberapa banyak kegiatan anak-anak yang telah
kutulis. Yah…aku memang kecewa, kecewa pada diriku sendiri yang tak kunjung
bisa fokus mengurusi setiap proses belajar mereka. Tapi kekecewaan hanya
membuahkan keburukan. Aku berusaha merenung, mengapa ini tak kunjung bisa
kutekuni padahal ini adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku, aku sangat
senang melakukannya…O ya, ternyata ada kendala-kendala yang belum bisa aku
atasi, ada kesibukan lain yang memaksaku untuk membuat rating prioritas, dan
kelak fokus mengurus blog ini akan aku dapati juga. Tidak apalah…sementara
begini dulu, tidak masalah. Kembali ke tujuan utama home education kami,
belajar dengan menyenangkan, belajar tanpa tekanan, belajar tanpa paksaan,
nikmati saja, karena aku juga sedang belajar…
Ya, begitulah. Aku merasa grafik kebahagiaanku senantiasa menanjak sejak kami menjalani home education. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa mengetahui setiap perkembangan anak-anakku. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa belajar bersama anak-anak. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Kami bersama-sama memulai. Kami bersama-sama menjalani. Sebuah pelajaran berharga atas permasalahan keluarga yang tak kunjung usai dari kehidupan kami juga menjadi bagian dari proses belajar itu. Kondisi ekonomi yang sering menjadi masalah bahkan bisa menjadi proses belajar yang luar biasa. Bisa dibilang aku dan suami memang sedang belajar bagaimana keluarga kami bisa mencapai skor financial yang ideal. Bersamaan dengan itu pula kami juga berusaha membimbing anak-anak untuk memiliki skor financial yang ideal sejak sekarang. Sebagian orang mengatakan, bagaimana bisa mengajarkan kepada anak kita sesuatu yang belum bisa kita lakukan, baguskan diri dulu baru diajarkan kepada anak. Tapi kami mempunyai pandangan yang berbeda. Kami memulai bersama, sama-sama dari nol. Bisa jadi selama perjalanan itu anak-anak berjalan lebih cepat dan kami justru belajar dari mereka, tidak masalah. Justru di situlah kebahagiaan itu muncul.
Dalam menjalani
proses belajar bersama kita selalu bisa menciptakan kebahagiaan. Sedih dan
kecewa, gembira dan suka cita selalu kita maknai dengan kebahagiaan. Kita tidak
perlu menutup-nutupi jika memang kita tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan
yang diajukan anak, kita bisa bersama-sama mencari jawabannya. Kita juga tidak
perlu berpura-pura menjadi orang yang serba tau hanya dengan mendahului anak
belajar sebelum mengajar karena anak selalu bersama kita 24 jam. Keindahan
belajar bersama itulah yang membuat kebahagiaan selalu ada. Alhamdulillah, kami
sangat bersyukur dengan kesempatan yang telah Allah berikan untuk menjalani
proses pendidikan home education. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada
kami untuk memberikan yang terbaik kepada putra putri kami.
Langganan:
Postingan (Atom)