Perbaiki Sekolah - Sindo 8
Desember 2011
Hari Rabu kemarin
saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang
harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah
berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar. Apa
yang menjadi keprihatinan orang tua dan guru?
Pertama, mereka ingin
mengklarifikasi benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di
dunia?. Kedua mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai
di level juara Olimpiade matematika (dan fisika) saja? Dan Ketiga, apa yang
harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan
anak didik.
Terberat – tersarat
Meski tidak tahu
apakah kita masuk kategori “ter”, saya harus menyampaikan bahwa pendidikan
dasar dan menengah kita memang berat. Saking beratnya, seorang ketua yayasan
pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD
Kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban
berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 Kilogram.
Selain jumlah
pelajaran yang diwajibkan Undang-undang Sisdiknas terlalu banyak (16-20),
buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga
terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman
saya sebagai orang tua yang membimbing anak sendiri dalam belajar menemukan
rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu
dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama. Sudah begitu, sebagian
besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar? Jadi rumus
yang benar dan salah seringkali sama-sama diajarkan.
Tak banyak guru yang
menyadari bahwa 80% isi sebuah buku, intinya hanya berada pada 20% dari jumlah
halamannya. Akibat ketidaktahuan ini jelas fatal, seluruh isi buku
dijejalkan pada kepala anak didik. Meski dari 16-20 mata pelajaran yang
diajarkan di SMU (seorang tua murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28
mata pelajaran) hanya 6 mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional,
kesepuluh hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk kedalam otak
anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama
kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.
Lengkaplah sudah
penderitaan anak-anak sekolah Indonesia .
Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa mmbuat
anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi dibawah 6,
atau harus mengulang. Ada
banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh, dan nilainya harus
dibawah rata-rata murid lainnya. Kalau rata-ratanya 6, yang mengulang otomatis
diberi nilai dibawah 6 tanpa diperiksa. Guru-guru kita masih beranggapan kalau
murid ditekan maka anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih
hebat. Padahal itu hanya mencerminkan ego-nya yang teramat besar dan dapat
berakibat buruk bagi setiap anak-anak didik.
Mata pelajaran-mata
pelajaran yang maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relax dan fun, telah
dirubah menjadi momok yang menakutkan. Ia dijadikan setara dengan ilmu
pasti yang sarat rumus dan padat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata
pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius
dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai.
Untuk mengatasi hal
ini saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai
membuat pelajaran-pelajaranya disampaikan dengan cara yang lebih fun dan
menyenangkan.
Juara Olimpiade
Ini tentu kabar yang
menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering
menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade
Matematika dan Fisika. Tetapi pertanyaannya kemana setelah itu? Apakah mereka
akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru?
Meski semua itu
dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita
berikan di sini memang sangat tinggi. Sekedar Anda ketahui saja, aljabar yang
kita pelajari di level SMP di sini, ternyata baru diajarkan pada level SMA di
negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S3 di Amerika Serikat
dan menjadi asisten Professor dengan mengajar di program S3, saya melihat
anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan differensial dan Integral di
tingkat Universitas. Kita mengajarkan topik itu, bersama dengan topik mengenai
matrix sejak di bangku SLTA.
Seringkali saya ingin
mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau
sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di Bulan atau di
venus, dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak
demikian.
Untuk menjadi
penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu
harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa
frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade
malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu
hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak
akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi,
karena tidak ada pengakuan.
Menjadi Manusia
Hebat
Akhirnya saya harus
menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah
cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat?
Manusia hebat
bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan
manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth
mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik.
Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?
Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas
Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/450011/34/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar