Materi
pertama dari Psikolog lulusan UI, Drs. Adriano Rusfi, S.Psi atau yang
sering di sapa Bang Aad. Beliau menyampaikan materi Melahirkan Generasi
Aqil Baligh untuk Peradaban Indonesia yang Lebih Hijau dan Lebih Damai.
Konsultan
SDM dan Pendidikan Independen yang pernah menjadi Pimpinan Umum Majalah
Ummi ini membuka materi dengan pertanyaan: “Apa yang membuat anak-anak
kita tertarik dengan ISIS atau NII? Mengapa seorang anak usia 13 tahun
bisa mengendarai mobil balap dan menewaskan banyak orang? Mengapa
tawuran? Mengapa pakai narkoba?”
Berdasarkan
pengalaman beliau bekerja pada BNN di bagian prevensi, penangkapan
ternyata hanya memiliki efek keberhasilan 2%. Bahkan rehabilitasi
tingkat keberhasilannya hanya 6%. Artinya jika 100 orang di
rehabilitasi, 94 orang akan kembali jadi pemakai.
Kalau
dulu Bung Karno bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.” Sekarang kita bilang, “Beri aku satu remaja, pusing awak
dibuatnya.”
Pemuda
memang identik dengan semangat perubahan. Ini merupakan salah satu
penyebab mengapa pada masa Rasullullah, Islam lebih berkembang di
Madinah daripada di Mekah. Saat itu di Madinah lebih banyak penduduk
mudanya, dibandingkan dengan Mekah yang lebih banyak penduduk berusia
lanjutnya.
Di
masa awal kemerdekaan, kita bisa lihat bagaimana para pemuda seperti
Bung Karno, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain mampu memimpin perundingan
antar negara pada usia mudanya. Mereka menyerukan sumpah pemuda untuk
mempersatukan bangsa. Tercatat dalam sejarah bagaimana geniusnya mereka
memilih bahasa melayu yang egaliter sebagai bahasa persatuan.
Lantas mengapa kualitas generasi muda kita menurun?
Konsep remaja
Istilah
remaja itu adalah istilah yang dikenal pada akhir abad 19. Sebelumnya
tidak ada istilah itu. Dalam sebuah penelitian ilmiah pada suku-suku
terasing di Samoa, Papua, Baduy dalam, ciri-ciri keremajaan itu tidak
tampak pada masyarakat disana. Dalam dunia kedokteran hanya ada istilah
Pedagogi untuk anak dan Andragogi untuk Dewasa. Tidak ada istilah
remaja.
Remaja
dalam fenomena sosial sekarang lebih merupakan tragedi. Sebuah generasi
banci sosial, tidak produktif, bahkan konsumtif dan destruktif, bukan
anak tapi belum dewasa.
Kalau anak minta duit, kita bilangnya “Kamu sudah besar, minta duit melulu”
Kalau anak minta kawin, kita bilangnya “Kamu masih kecil, sudah minta kawin”
Konsep
remaja itu mendapat pembenaran ilmiah, sosial bahkan agama. Kita jadi
mengenal istilah remaja mesjid. Di sini lemahnya science yang hanya
bicara soal fakta. Jika dalam populasi ada 10% banci, maka kita akan
menyebutkan bahwa jenis kelamin itu ada 3. Demikian juga dengan remaja,
yang sebenarnya tidak ada.
Aqil Baligh dalam Islam
Islam
mengenal istilah Aqil Baligh. Baligh adalah kedewasaan fisik, sedangkan
Aqil adalah kedewasaan mental. Masalah terjadi ketika Baligh dan Aqil
ini tidak sepaket. Baligh berhubungan dengan nutrisi. Para bunda over
sukses dengan memberi nutrisi pada anak, sehingga kini masa baligh bisa
terjadi pada usia sangat dini seperti 9 tahun.
Sedangkan
Aqil berhubungan dengan kedewasaan mental, yang menurut teori psikologi
makin lama makin lambat munculnya. Kedewasaan mental kini muncul di
usia 22-24 tahun. Di sinilah masalah muncul. Kita pun mengenal istilah
remaja. Sudah Baligh tapi belum Aqil. Terciptalah periode transisional
dalam rentang yang panjang. Dalam Al Quran juga disebutkan mengenai
perlunya kita berlindung dari masa-masa transisi seperti ini.
Dalam
Islam, Aqil dan Baligh disiapkan dalam 1 paket. Tidak bisa
dipisah-pisah. Paling lambat usia 15 tahun Aqil dan Baligh itu sudah
bisa tercapai. Bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung-jawab
meng-aqilbaligh-kan anak?
Perlu
dipahami bahwa penanggung jawab utama pendidikan adalah ayah. Bukan
bunda! Bunda adalah pelaksana pendidikan. Dalam sejumlah referensi
islami ditemukan tokoh parenting yang terkenal adalah laki-laki.
Ada
nama Lukmanul Hakim, seorang budak berkulit hitam yang petuah-petuahnya
untuk anak-anaknya menjadi referensi parenting hingga kini. Namanya
bahkan diabadikan dalam Al Quran.
Saat
ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi sekedar buruh.
Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas kurang. Tidak ada
kualitas tanpa kuantitas yang cukup.
Bersama
para pakar parenting lain, Bang Aad terpikir juga untuk menciptakan
model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu
lebih untuk mendidik anak-anaknya. Tapi jangan juga jadi ayah yang
serakah. “Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat
60 juta nih.”
Terkadang
para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.”
Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena
merasa pencari nafkah.
Salah
satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan
anak, bukan urusan cari uang. Makanya pikir matang-matang kalau mau
berpoligami.
Tugas
pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap
di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak.
Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang. Jadi
dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu luang
disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa anak-anak
mereka. Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah sebagai
kegiatan utama tempat orang tua buang anak. Sehingga orang tua-nya bisa
tenang mencari uang untuk bayar sekolah. Sebuah ironi.
Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci pada kebatilan. Jangan dipisah-pisah.
Kenapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?
Kenapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?
Ini karena kita sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.
Kita
lebih mengutamakan ibadah dan ahlak, sementara akidah tertinggal
dibelakang. Ibadah dan ahlak ini yang menjadi jualan sekolah-sekolah
sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. Padahal yang
penting itu akidah atau pondasinya. Namanya juga pondasi, sering tidak
kelihatan pada awalnya.
Sekolah
akan mengajarkan sholat, tapi tidak bisa bertanggung jawab untuk
kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang aneh ketika mendengar
komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus dan sudah hafizd
Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”
Pendidikan
kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda di elus oleh ibu dengan
dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja.
Allah
menitipkan hikmah pada orang tua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa
didelegasikan pada siapapun. Dengan harga berapapun.
Saya jadi ingin menambahkan status facebook keren Bang Aad, 1 Desembar 2015 lalu,
Dulu,
saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur'an ketika berusia 3
tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya AlQur'an
Dulu,
saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika berusia 5 tahun,
dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya perintah Allah
Dulu,
saat anak-anak temannya telah hafal hadits Arba'in ketika berusia 7
tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya Rasulullah
Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda
Libatkan anak dalam masalah
Pria
kelahiran 1964 ini pernah punya status viral mengenai menikah. Kalau
kita masukkan nama Adriano Rusfi di Google, akan nongol tulisan ini.
“Saya
baru punya mobil usia 42 tahun. Rumah baru punya 2 tahun lalu,
sebelumnya ngontrak”, kata lulusan psikologi UI kelahiran tahun 1964
ini.
Dulu teman-temannya bilang, “Lu makanya yang fokus dong cari duit.”
Kalau
sekarang teman-teman kagum dan bilang, “Lu bakatnya banyak banget sih?”
Bang Aad sekarang bisa membalas “Mungkin dulu Lu kecepetan fokus sih.”
Generasi
dewasa hijau perlu di gerakkan hatinya, jangan hanya otak. Akal sehat
tidak identik dengan kecerdasan akademis. Perilaku hijau adalah perilaku
perduli pada sesama.
Salah
satu cara yang disampaikan Bang Aad adalah dengan tidak menyembunyikan
masalah dari anak. Rem masa baligh anak dengan membantu orang tua
menyelesaikan masalahnya.
Pada
masa kecil Rasulullah ia adalah penggembala ternak. Beliau melatih
empatinya dengan memelihara binatang. Saat ini kita bisa begitu alergi
dengar kata ‘gembala’ atau bahkan ‘bunda’. Padahal sebenarnya arti
gembala itu adalah memuliakan, memakmurkan.
Jadi
kurang tepat juga ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang menderita,
kamu belajar saja yang rajin.” Pria yang sempat mengurus Sistem
kaderisasi Mesjid Salman dan Orientasi Mahasiswa Baru ITB ini
menyebutkannya sebagai kalimat kurang ajar. Mengapa si ayah tidak
mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya
orang sukses hanya dari gelimangan kemudahan.
“Supaya
beban finansial saya cepat beres, saya fokus meng-aqilbaligh-kan anak”.
Anak Bang Aad dari usia SMP sudah menjadi loper koran, membuka jasa
servis tamiya, membantu scoring lembar psikotest. Sehingga anak jadi
timbul empatinya.
Setiap permintaan akan dimulai dengan pertanyaan: “Abi ada duit nggak?”
Apapun
yang anak minta harus 10% uang dia. Bang Aad cerita bagaimana anaknya
ingin sepeda motor. “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10% uang
sendiri.” Anaknya jadi mikir juga. Yang 16 juta, harus ada 1,6 juta.
Akhirnya si anak memilih yang 9 juta saja, karena merasa mampu
menyediakan 10%-nya. Abi senang, anak senang.
Konglomerat
Tionghoa itu sadis-sadis sama anaknya. Kalau anak mereka minta
macam-macam, jawabnya “Sudah bagus Bapak kasih segitu.” Kita saja yang
Melayu ini suka memanjakan anak. Bang Aad sempat bercerita tentang
tetangganya yang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung
buat anaknya supaya jadi ojek payung.
Ketika
anak sudah memasuki usia aqil baligh, anak dikasih tahu. “Kamu ini
sebenarnya sudah bisa Ayah suruh pindah, tapi sekarang masih boleh
tinggal dirumah. Hanya statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur.
Jadi tau diri lah sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”
Ajari
anak cari uang, ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah.
Anak mulai bisa diajarkan kemandirian saat usia diatas 7 tahun.
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang
akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Yakinlah
setiap anak sudah terlahir muslim. Itu sudah fitrahnya. Didik anak
dengan penuh optimis, tidak perlu rekayasa. Dan jangan lupa untuk
meminta kepada Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik
anak-anak.
Sumber : http://shantybelajarmenulis.blogspot.co.id/2015/12/oleh-oleh-kuliah-umum-fitrah-based.html?m=1
sewa tenda dome, rental tenda dome, matras, sleepingbag, peralatan outdoor, kompor lapangan
BalasHapusToko ScoutAddict Kediri
Info WA. 081222165002
sewa tenda kediri, rentas tenda kediri, sewa tenda pare, rental tenda pare, sewa tenda nganjuk, rental tenda nganjuk, sewa tenda blitar, rental tenda blitar, sewa tenda tulungagung