Sabtu, 31 Desember 2011

Medali Emas

Medali Emas - Sindo 24 November 2011


Berjalan mengelilingi Kota Namlea, tiba-tiba seseorang menyebut nama mantan seorang atlet sepak bola terkenal,yang pernah jaya di era tahun 1970-an. Semua orang lalu hanyut menceritakan prestasinya. 

Saya masih ingat namanya sering disebut radio dan koran.Tetapi, benarkah itu atlet yang dulu menjadi pujaan masyarakat? Berambut gimbal, baju compang-camping, dan lusuh, kaki penuh debu. Seorang teman menyebutkan persoalan yang dia hadapi. Setelah masa kejayaan,dia harus kembali ke masyarakat. Ijazah sekolah tidak ada, pengalaman kerja apalagi.Yang ada di sakunya hanya medali emas yang pernah didapatkan tim PSSI saat dia bergabung. 

Tetapi, sekarang medali itu sudah tidak ada lagi. Depresi, gila, atau entah apa namanya.Hidup terlunta- lunta tak ada perhatian. Nama besar tinggal sejarah. Lain lagi dengan Jumain, mantan atlet dayung nasional yang sering meraih medali emas. Meski tidak seburuk pemain bola tadi, Jumain yang pernah memperkuat SEA Games XV (1989) hanya bisa bekerja sebagai penjaga kapal di pantai Marina–Semarang dengan upah Rp500.000.

Nasib Jumain tidak lebih baik dari Marina Segedi yang meraih medali emas pencak silat pada SEA Games XIII (1981) di Filipina. Meski perempuan, Marina kini berprofesi sebagai sopir taksi di Jakarta. Nasib atlet-atlet tua yang saya sebut di atas sungguh menyesakkan dada, selain gelanggang olahraga nasional pasca-SEA Games atau PON yang tak terurus, ternyata atlet-atlet yang pernah berprestasi juga kurang mendapat perhatian. 

Saya juga pernah membaca mantan juara tinju kelas Bantam Yunior (1987) yang menjadi pemulung dan sebagainya. Nasib mereka tak sehebat Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Icuk Sugiarto yang sukses hidup sebagai pengusaha. Sementara hari ini, 24 November 2011, atlet-atlet peraih medali emas SEA Games akan mendapatkan insentif sebesar Rp200 juta per orang per medali. Kita perlu mengingatkan bahwa uang sebesar itu bisa saja mengubah hidup menjadi lebih baik, namun bisa juga sebaliknya. 

PLC 
Ibarat produk, setiap atlet juga memiliki PLC (product life cycle) yang relatif pendek. Atlet adalah profesi yang ”cemerlang” di usia muda.Paling panjang, seorang atlet di dunia amatir dapat bertahan antara 10–12 tahun.Lewat usia tertentu, siklus hidupnya akan berakhir. Padahal usia muda hanya sementara, dan untuk meraih prestasi, seorang atlet harus mengabdikan hampir seluruh masa mudanya untuk olahraga. 

Seperti atlet golf perempuan asal Korea Selatan, Seri Park, yang meninggalkan dunia sekolah, atlet-atlet kita juga banyak yang melakukan hal serupa. Selain fokus, sebagian atlet diketahui juga berasal dari kalangan kurang mampu yang memperbaiki nasib keluarga melalui olahraga. Kalau olahraga yang ditekuninya favorit, dia bisa mencetak prestasi setiap tahun dalam kurun waktu tertentu. 

Dan kalau wajahnya khas dan ceritanya unik, mereka bisa mendapat rezeki sampingan, baik sebagai bintang iklan,bintang layar lebar, atau yang lebih beruntung lagi mendapat kan mertua yang hebat. Tetapi berapa banyak atlet yang beruntung seperti Ade Rai, Taufik Hidayat, atau Rudy Hartono? Tentu tidak banyak,bukan? Dalam kurun waktu PLC yang pendek itu kita perlu mengingatkan para atlet agar mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum masa emasnya berakhir. 

Jendela emas yang hanya berlangsung 10–12 tahun itu berlangsung begitu cepat, dan mereka perlu berpikir keras agar tidak bernasib seperti seniorsenior mereka yang kurang beruntung. Sikap setiap orang terhadap masa depan tentu berbeda- beda.Ada yang jauh-jauh hari sudah berpikir dan mempersiapkan diri, namun ada juga yang masih ingin bersenang- senang menikmati masa muda dengan uang yang berlimpah dan penuh pujapuji. 

Kalau seorang atlet meraih empat medali emas ditambah beberapa medali perak dan perunggu, dia hampir pasti akan membawa bonus minimal sebesar Rp1 miliar.Ini tentu bukan jumlah yang kecil. Namun, seperti orang pensiunan yang selama bertahuntahun hanya terlatih menjadi pegawai,sudah pasti seseorang akan mudah terjerumus dan kebingungan, seorang yang tidak bisa mengelola uang perlu dibekali dengan perencanaan keuangan yang sehat. 

Lakukanlah Investasi 
Orang-orang dulu percaya bahwa ”hemat adalah pangkal kaya”. Meski saya hampir tak pernah melihat orang yang menjadi kaya karena hidupnya sangat hemat, saya juga tidak melihat ada masa depan di tangan orang-orang yang boros. Atlet-atlet yang cerdas tentu perlu merencanakan tindakannya dengan penuh kehati-hatian. Yang jelas, konsumsi yang berlebihan bukanlah hal yang disarankan. 

Atlet yang cerdik dapat menggunakan uangnya untuk berinvestasi, baik dalam bidang pendidikan, bermain saham, atau investasi dalam usaha-usaha tertentu.Tetapi, sebagai seorang pemula, semua investasi itu harus melewati masa belajar yang panjang. Karena itu, tak ada hasil yang diperoleh dalam sekejap. 

Semua butuh kerja keras dan mampu mengelola rasa frustrasi, mengelola kesabaran. Apa yang diinvestasikan hari ini baru akan berbuah lima– enam tahun ke depan. Itu pun hanya akan berbuah kalau jalannya benar. Saya ucapkan selamat kepada para atlet yang berprestasi dan berhati-hatilah dalam mengelola uang karena dia bisa menjadi sumber harapan masa depan, namun juga bisa menjadi sumber masalah.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/446189/34/

Perbaiki Sekolah

Perbaiki Sekolah - Sindo 8 Desember 2011

Hari Rabu kemarin saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar. Apa yang menjadi keprihatinan orang tua dan guru?

Pertama, mereka ingin mengklarifikasi benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di dunia?. Kedua mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai di level juara Olimpiade matematika (dan fisika) saja? Dan Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan anak didik. 

Terberat – tersarat
Meski tidak tahu apakah kita masuk kategori “ter”, saya harus menyampaikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita memang berat. Saking beratnya, seorang ketua yayasan pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD Kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 Kilogram.

Selain jumlah pelajaran yang diwajibkan Undang-undang Sisdiknas terlalu banyak (16-20), buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman saya sebagai orang tua yang membimbing anak sendiri dalam belajar menemukan rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama. Sudah begitu, sebagian besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar? Jadi rumus yang benar dan salah seringkali sama-sama diajarkan.

Tak banyak guru yang menyadari bahwa 80% isi sebuah buku, intinya hanya berada pada 20% dari jumlah halamannya. Akibat ketidaktahuan ini  jelas fatal, seluruh isi buku dijejalkan pada kepala anak didik. Meski dari 16-20 mata pelajaran yang diajarkan di SMU (seorang tua  murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28 mata pelajaran) hanya 6 mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, kesepuluh hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk kedalam otak anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.

Lengkaplah sudah penderitaan anak-anak sekolah Indonesia. Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa mmbuat anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi dibawah 6, atau harus mengulang. Ada banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh, dan nilainya harus dibawah rata-rata murid lainnya. Kalau rata-ratanya 6, yang mengulang otomatis diberi nilai dibawah 6 tanpa diperiksa. Guru-guru kita masih beranggapan kalau murid ditekan maka anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih hebat. Padahal itu hanya mencerminkan ego-nya yang teramat besar dan dapat berakibat buruk bagi setiap anak-anak didik. 
Mata pelajaran-mata pelajaran yang maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relax dan fun, telah dirubah menjadi momok  yang menakutkan. Ia dijadikan setara dengan ilmu pasti yang sarat rumus dan padat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai. 

Untuk mengatasi hal ini saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai membuat pelajaran-pelajaranya disampaikan dengan cara yang lebih fun dan menyenangkan.


Juara Olimpiade
Ini tentu kabar yang menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade Matematika dan Fisika. Tetapi pertanyaannya kemana setelah itu? Apakah mereka akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru?
Meski semua itu dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita berikan di sini memang sangat tinggi. Sekedar Anda ketahui saja, aljabar yang kita pelajari di level SMP di sini, ternyata baru diajarkan pada level SMA di negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S3 di Amerika Serikat dan menjadi asisten Professor dengan mengajar di program S3, saya melihat anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan differensial dan Integral di tingkat Universitas. Kita mengajarkan topik itu, bersama dengan topik mengenai matrix sejak di bangku SLTA.
Seringkali saya ingin mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di Bulan atau di venus, dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak demikian.

Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi, karena tidak ada pengakuan.

 Menjadi Manusia Hebat
Akhirnya saya harus menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat?
Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?

Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/450011/34/

Jumat, 30 Desember 2011

Merebut Jiwa Anak


Meskipun pendidikan di perguruan tinggi turut berpengaruh pada sikap terutama wawasan seseorang, tetapi pengaruh paling kuat yang membekas pada kepribadian adalah masa kecil. Dan cerita anak-termasuk film yang mereka lihat-sangat menentukan kekuatan jiwa. Anakyang sudah kukuh jiwanya ketika memasuki masa remaja, insyaAllah mereka tidak mudah terpengaruh-apalagi terguncang-oleh hal-hal baru yang ada di sekelilingnya. Menjadi remaja tidak dengan sendirinya berarti mengalami kebingungan jati diri sehingga mereka sibuk mencari identitas-yang kemudian dijadikan sebagai alasan pembenar untuk melakukan apa saja yang tidak benar. Ada remaja-remaja yang tidak mengalami keguncangan. Mereka telah menemukan jati diri sebelum memasuki masa remaja. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.

Pertanyaan kita adalah mengapa ada yang harus terguncang dan kehilangan pegangan sehingga pelajaran agama yang mereke terima semenjak kecil seakan tak berbekas, sementara pada saat yang sama ada remaja lain yang tidak menggalami kebingungan identitas? Wallahu a'lam bish-sha-wab.  Penyebab yang sangat menentukan adalah pendidikan yang mereka terima di masa sebelumnya, sejauh mana memengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa mereka.

Sekedar cerdas secara kognitif atas nilai-nilai tauhid, tidak banyak berpengaruh bagi jiwa. Banyak pengetahuan tidak terlalu menentukan apa yang menjadi penggerak utama manusia untuk hidup-McClelland kemudian menganggapnya sebagai kebutuhan (need ). Seperti dokter penyakit dalam, sekedar pnegetahuan yang mendalam tentang bahaya merokok, tidak cukup untuk membuat mereka berhenti merokok. Itu sebabnya, perusahaan rokok dengan senang hati mencantumkan peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di iklan-iklan mereka.

Nah, salah satu cara yang efektif memengaruhi juwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita, semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa anak. Demikian pula semakin dini mereka membaca cerita-cerita berpengaruh tersebut, semakin kuat bekasnya pada jiwa. Kuatnya pengaruh ini akan lebih besar lagi jika anak-anak itu mengungkapkan kembali cerita dan kesan yang ia tangkap melalui tulisan. 'Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

Itu sebabnya, dua ketrampilan ini-yakni membaca dan menulis-perlu kita bangkitkan semenjak dini. Kita gerakkan jiwa mereka unuk membaca sejak anak-anak baru berusia beberapa hari. Kita rangsang minat baca mereka, dan kita ajarkan mereka bagaimana membaca sejak dini. Bukan semata untuk meningkatkan kecerdasan. lebih dari itu, mudah-mudahan kita tergerak untukmelakukannya karena Allah 'Azza wa Jalla telah menjadikan membaca (iqra') sebagai perintah pertama. Iqra' bismirabbikalladzii khalaq! Adapun kenyataan bahwa mengajarkan membaca semenjak dini terbukti meningkatkan kecerdasan kita berlipat-lipat, itu merupakan hikmah yang harus kita syukuri.

Tetapi...
Sekedar membuat anak kita terampil membaca dan menulis di usia dini, sama sekali tidak cukup. Kita harus berikankepada mereka  bacaan-bacaan bergizi bagi pikiran, perasaan, dan ruhani mereka. Tak cukup kalau kita sekedar mencerdaskan otak. Kita harus menghidupkan jiwa mereka sehingga tumbuh kebutuhan yang sangat kuat sebagai penggerak hidup mereka kelak. Kita harus menulis cerita-cerita yang bergizi. Sekarang juga! Tak ada waktu untuk menunggu, karena setiap detik waktu berlari meninggalkan kita...!!

Subhanallah...mencoba merefleksikan diri dengan mengurai ulang tulisan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam "Merebut Jiwa Anak," salah satu judul bab buku beliau Positive Parenting. Semoga mampu menggerakkan seluruh kekuatan yang mulai terpendam. Semoga menjadi amal sholih bagi beliau penulis yang membawa berkah bagi setiap orang  yang membacanya. Rabb...bantulah kami menuju ridho-MU...Amiin.

Sabtu, 26 November 2011

Fahri Belajar Membaca

Bulan ini sepertinya Fahri (4 th) sedang belajar membaca. Kami sebut sepertinya karena kami memang tidak membuat target belajar membaca dengan metode tertentu kepada Fahri meski kami mempunyai sebuah metode yang asyik untuk belajar membaca (bawaan saya ketika masih ngajar di PAUD). Metode ini saya nilai ramah anak karena paradigma utama yang dibangun adalah belajar dengan menyenangkan, belajar sambil bermain dan bernyanyi. Kami tidak fokus pada metode ini, ingin sebenarnya, tapi sepertinya saya tidak bisa fokus mengerjakannya karena banyak peraga yang harus disiapkan. Akhirnya kami mencoba metode "alamiah" (mencari alasan pembenar sepertinya), dengan tetap fokus pada pada metode utama kami sebagaimana yang telah didapatkan oleh kakak-kakaknya, yaitu dibacakan buku setiap hari minimal 1 kali plus banyak diinteraksikan dengan buku dan tulisan. Alhamdulillah, sepertinya kami sedang membuktikan, bahwa jika anak belajar dengan kemauannya (karena senang tentunya), maka ia akan belajar dengan totalitas. 

Seminggu terakhir Fahri banyak meminta saya untuk menjawab pertanyaannya tentang bunyi huruf yang ia sebutkan, misalnya "Mi, A sama U bacanya apa?" atau "A sama B sama A bacanya apa?" banyak....sekali pertanyaannya. Juga, seminggu ini saya sering berebut komputer dengan Fahri karena dia sangat menikmati kegiatan menulis di Microsoft Office Power Point. Suka...banget. Tadi pagi dia minta diajari nulis TEMPE. Mungkin gara-gara di dinding tempat sholat kami tulisan TEMPAT SHOLATnya dilepas adik sampai tinggal TEMP saja, suatu hari saya bilang " ini lho bisa dibuat nulis TEMPE," lalu dia bertanya, TEMPE itu tulisannya gimana. Saya sebutkan huruf-hurufnya. Hari ini ketika Fahri minta diajari nulis TEMPE dia sudah  menuliskan huruf  TEMP terlebih dahulu tanpa saya minta. Lalu dia juga minta diajari menulis TEMPAT SHOLAT dari tulisan TEMPE yang ia hapus hingga tinggal TEMP. Nah kan...nyambung banget....

OK deh, mungkin setelah hari ini Ummi harus bersungguh-sungguh menempel tulisan di dinding, biar Fahri terfasilitasi keinginan membacanya. Dan sepertinya saya akan membuktikan bahwa belajar mandiri karena ketertarikan yang kuat dengan obyek belajar itu memang sangat tepat untuk dijadikan pegangan. Semoga diberi kekuatan untuk melakukan yang terbaik menjalankan amanah atas mereka....    

Selasa, 08 November 2011

"Gasing Kertas" ala Fathin

Proses pembuatan prakarya oleh Fathin menurutku cukup unik dibandingkan kedua adiknya. Setelah "Robot Kabel" milik 'Abdan berhasil terupload di blog ini, ia seperti tersihir untuk segera berkarya. Diungkapkannya ide-ide yang ada di kepala, diawali dengan ide membuat perahu dari sterofoam yang dipadu dengan dinamo bekas mobil-mobilan. Ide ini tidak kunjung terealisasi karena kami tidak punya mobil-mobilan. Idenya berlalu. Kemudian ummi memberikan sedikit ide dengan banyaknya kardus bekas di rumah kami, bisa bikin mobil-mobilan, rumah-rumahan, atau apalah , banyak hal bisa dibuat dengan kardus bekas. Ia pun mulai menggunting kardus bekas. Ummi tidak tahu apa yang akan ia buat. Tapi beberapa saat kemudian ia menunjukkan sebuah mainan yang menurut ia mirip dengan pesawat UFO. Tapi sayang, proses pembuatannya tidak dipotret.

Beberapa hari kemudian, sepulang dari masjid ia dan 'Abdan membawa potongan foam, kemudian ia merangkainya menjadi perahu. Setelah jadi ia tunjukkan pada ummi. Tapi sayang lagi, ummi juga belum sempat mengambil gambar proses pembuatannya, dan ia juga tidak bisa mengulanginya. Apalagi beberapa saat setelah jadi, perahu-perahuan itu rusak karena dipatok ayam saat diletakkan di teras rumah... He..he.. Fathin tampak kecewa. Tapi syukurlah ia masih sempat memainkan dan mengambil gambarnya. 

Selanjutnya, di hari yang lain Fathin pulang dari bermain bersama seorang teman yang membawa dinamo bekas, lengkap dengan kabel pendek dan batreinya. Tampaknya ia sudah melobi temannya itu untuk meminjamkan dinamo guna membuat perahu mainan bersama-sama. Rupanya Fathin masih sangat penasaran dengan ide pertamanya membuat perahu dengan dinamo bekas. Ok, dan karena ummi tahu sejak awal tentang rencananya ini, segera saja ummi pegang hp, bersiap mengambil setiap proses pembuatan perahu itu. Saat telah cukup banyak foto proses pembuatan ummi kumpulkan, adzan ashar berkumandang, kami pergi sholat. Usai sholat Fathin melanjutkan prakaryanya, tanpa didampingi ummi. Agak lama ia berkutat dengan idenya itu. Namun akhirnya... terdengar nada kecewa dari teriakan Fathin. Perahunya ga jadi.....ga bisa dipakai dinamonya...

Ya...begitulah. Ia gagal meluncurkan gagasannya, tapi tampaknya ia puas. Setidaknya tangan dan otaknya telah mencoba. Dan kegagalan ini ummi yakin pasti akan terus menggelitik otaknya untuk terus berkreasi.. Selamat, Nak! Kamu telah mencoba...

kemudian, ketika prakarya Fahri pun telah terselesaikan, Fathin mulai tergelitik lagi. Sepertinya ia tidak rela kalau tidak mengikuti lomba. Ya sudahlah, akhirnya ia mengambil jalan pintas. "Bikin kincir angin kayak Fahri saja ya, Mi?" Iyalah...ok silakan. Aku pikir seluruh upayanya selama ini sudah cukup untuk sebuah pembelajaran. Ia telah berupaya dengan sangat keras. Sehingga mengambil keputusan termudah di saat-saat genting pun aku pikir sah-sah saja. Dan ternyata, di hari terakhir ini, ketika uploadnya akan ummi selesaikan, Abi sepertinya kurang setuju dengan prakarya yang mirip punya Fahri itu. Akhirnya...di saat genting itu pulalah Fathin mengubah keputusannya. Kincir Angin Kertas batal dimajukan. Prakarya terakhir yang ia ajukan ke lomba adalah "Gangsing Kertas" . Ia membuat gasing baru sama persis dengan gasing kertas buatannya yang ia sebut mirip pesawat UFO itu. Ok, Nak. Ummi hargai setiap keputusanmu. Bagi ummi setiap upayamu adalah harta berharga. Dan engkau berhak berbahagia dengan apa yang telah engkau lakukan. Kepada Klub Sinau, kami ucapkan banyak...terimaksih atas fasilitas lomba ini. Bagi kami ini kesempatan belajar yang luar biasa. Bukan hanya hadiahnya yang patut dibanggakan. Tapi seluruh proses kegiatan yang ternyata membuat anak-anak kami belajar banyak tentang berkompetisi, juga patut dijadikan kebanggaan. Terimakasih Klub Sinau dan seluruh teman-teman yang telah bersusah payah menyelenggarakan acara ini... Semoga semakin memacu kita untuk terus berkarya bersama anak-anak kita...

Dan...inilah Fathin dengan "Gasing Kertas" buatannya...

Bahan dan alat :

Pisau, gunting, tusuk sate, potongan kardus bekas 

Proses pembuatan :

Pertama : Fathin menggunting kardus bekas menjadi bentuk lingkaran berdiameter  5 cm


Kedua : potongan kertas berbentuk lingkaran itu dilubangi dengan pisau tepat di bagian tengahnya

Ketiga : Memotong tusuk sate menjadi dua bagian agar tidak terlalu panjang


Tusuk sate dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibuat


Sepertiga bagian tusuk sate itu menancap di lubang lingkaran



Keempat : Kertas dan bagian atas tusuk sate dilapisi dengan lakban


Kelima : Fathin merapikan lakban


"Gasing Kertas" siap dimainkan


"Gasing Kertas" sedang berputar



Inilah hasil karya Fathin. Tidak banyak indikator pembelajaran yang bisa ummi masukkan dalam kegiatan ini. Karena satu indikator saja menurut ummi sudah cukup memuaskan untuk sebuah proses pembelajaran sebagai implementasi atas filosofi Opoisaku (Apa yang aku bisa?). Dan ternyata banyak hal bisa dilakukan dan diupayakan oleh seorang Aslim Fathin Abdul Hadi... Semoga menjadi bekal berharga untukmu, Nak!


Minggu, 06 November 2011

Fahri dalam Lomba Prakarya dari Bahan Bekas "Kincir Angin Sampul Bekas"

Saat Klub Sinau mengumumkan akan diselenggarakannya lomba membuat Prakarya Dari Bahan Daur Ulang atau Bahan Bekas, Fahri turut antusias menyambutnya. Hanya saja, berbeda dengan Mas 'Abdan yang bisa mengerjakan sendiri prakaryanya, Fahri masih butuh campur tangan ummi dalam mengerjakannya, sehingga membuatnya harus menunggu saat dimana ummi benar-benar siap. Awalnya ummi tawarkan untuk membuat rantai warna-warni dari bungkus mie instan dan diapers eceran punya adik Yumna, tapi sepertinya Fahri tidak tertarik, dia memilih sendiri ide membuat KINCIR ANGIN. Hari-hari sebelum ini kami memang sering membuatnya, dan sepertinya Fahri senang dengan prakarya ini.

Berikut tentang pembuatan "Kincir Angin" Fahri.

Bahan dan alat :



Proses pembuatan :

Pertama : Fahri memisahkan sampul buku bekas dari buku


Kedua : Sampul digunting menurut garis tengahnya


Ketiga : Memotong kertas menjadi bentuk bujur sangkar



Keempat : Menggunting kertas 


Kelima : Menempel double selotip di ujung-ujung kertas dan melekatkannya ke bagian tengah


Keenam : Memasang tusuk sate dan sedotan sebagai tangkai Kincir Angin


Inilah gaya Fahri saat memainkan Kincir Anginnya

Prakarya Kincir Angin memiliki beberapa kriteria belajar yang cukup lengkap. Mulai dari proses pembuatannya sampai saat memainkannya. Proses pembuatannya melatih motorik halus (melipat, menggunting), matematika (mengenal bentuk geometri bujur sangkar), sains (gerakan memutar karena pengaruh angin), bahasa (menulis kata Kincir Angin), juga fisik motorik (berlari agar Kincir Angin bisa memutar). Dan Fahri sangat menikmati proses belajar yang menyenangkan ini.

Banyak cara untuk belajar dengan cara y ang disenangi anak, tinggal bagaimana kita mengemas kreativitas dari ide-ide belajar yang ada, bahkan dari ide-ide dan alat yang sederhana. Kalau bisa sederhana mengapa harus rumit...?

Minggu, 23 Oktober 2011

Al-Qur'an and Eduentepreneur Family

Setelah mencermati proses perjalanan hidup kami, selama 11 tahun mengarungi bersama bahtera rumah tangga ini, aku merasa menemukan sebuah hal mendasar yang sepertinya bisa kujadikan benang merah dasar-dasar proses pembelajaran keluarga kami. 

Aku dan suami merasa sebagai orang gagal setelah usia kami beranjak senja. Akibatnya kita bahkan memulai dari nol atas segala hal yang ingin kami capai saat ini. Sedangkan anak sulung kami kini telah menapaki usia 10 tahun, sebuah usia yang cukup kuwaspadai karena usia ini adalah awal usia kematangan atas hidup seorang lelaki. Dalam benak kami, seorang anak laki-laki hendaknya memang telah siap dengan segala kewajiban sejak ia menjelang usia baligh. Usia baligh adalah usia siap, bukan usia mencari jati diri. Itulah salah satu hal yang mendasari pola pikir kami menarik Fathin dari bangku sekolah saat ia berusia 8 tahun. Kami tidak ingin Fathin mengalami kegagalan serupa dengan yang dialami oleh kedua orang tuanya. 

Kami ingin mengantarkan Fathin mengais bekal yang benar-benar dibutuhkan saja menghdapai masa balighnya. Segala yang tidak ia butuhkan tak perlu diberikan, cukuplah ia menjadi matang atas sedikit hal urgent yang memang menjadi tanggung jawabnya semenjak baligh. Aqidah yang kuat, ibadah yang benar-benar karena taat, cara belajar yang tepat, cara berpikir yang  sehat, maisyah yang penuh berkat, ah...terlalu ideal kah? Tidak. Inilah yang ia butuhkan untuk balighnya. Tidak perlu menunggu jiwanya rapuh karena  terisi dengan hal lain yang kurang berguna lalu membersihkannya dan mengisinya lagi, tidak perlu menunggu usianya beranjak baru sibuk mencari jati diri, tidak perlu mengisi penuh otaknya dengan jejalan ilmu akademik yang menumpuk yang sebenarnya tidak begitu banyak diperlukan untuk sebuah kematangan hidup. Cukuplah bekal itu, dan jadilah master dalam kebaikan. Nahnu du'at qobla kulli syaik adalah filosofi yang harus selalu dipegang. Kita adalah da'i sebelum menjadi apapun. Hidup dimanapun menggunakan landasan yang jelas, kebaikan. 

Ya...itulah benang merah yang telah mulai kulihat. Bekal yang cukup itu ada pada Al-Qur'an. Jika Qur'an di tangan maka hidup akan berada pada relnya. InsyaAllah kurikulum itu segera kumatangkan. Aku ingin memiliki pegangan yang jelas setiap kali mendampingi anak-anakku menjelajahi dunia indahnya. Memperkuat pegangan terhadap Al-Qur'an dengan kokoh ma'isyah sebagai materi utamanya. Ma'isyah kami telusuri lewat entepreneur, jadilah sebuah kalimat penggugah untuk kami sekeluarga Al-Qur'an and Eduentrepreneur Family. Semoga Allah SWT berkenan memberikan petunjuk-Nya dan memberiakn kekuatan berlimpah di pundak-pundak kami, amin... 

Prakarya "Robot Kabel" dari Bahan Bekas

Ketika kusampaikan tentang lomba membuat Prakarya dari Bahan Daur Ulang/Bahan Bekas, 'Abdan yang memang sedang memainkan 'Robot Kabel' nya segera menyambut tawaranku dengan antusias. Segera saja kuminta ia mengulangi pembuatan mainan sederhananya itu. Kemudian kuambil gambarnya dan siap untuk didokumentasikan.



'Robot Kabel' -nama pilihan 'Abdan sendiri- ini ia temukan berawal dari kegiatannya mengikuti Fathin, sang kakak membongkar-bongkar keyboard bekas. 'Abdan menemukan potongan kabel dari bongkar-bongkarnya itu. Lipat sana, lipat sini, terbentuk setengah jadi sebuah orang-orangan tanpa tangan. Ketika kutawari untuk ikut lomba kusarankan ia mencari lagi potongan kabel yang masih tersisa untuk disambung menjadi tangan. Setelah disambung jadilah orang-orangan 'Robot Kabel ' itu...Berikut bahan dan cara pembuatan ''Robot Kabel'...


Bahan :


Bahan : Potongan kabel bekas, dikupas sebagian kulitnya


Cara Membuat :

Pertama : 'Abdan memasukkan ujung kabel kecil (hitam) ke potongan kabel  besar (putih)

Potongan kabel yang telah dilipat menghasilkan bentuk seperti ini

Kedua :  'Abdan menyambung kedua potongan kabel itu


Hingga  menghasilkan bentuk seperti ini

Ketiga : 'Abdan menggunting potongan kabel besar untuk membuat tangan robotnya

Keempat : Memasukkan isi kabel untuk mengikat

 Kelima : 'Abdan mengikat kabel putih itu 

Robot Kabel siap berpose

Prakarya ini membawa 'Abdan belajar tentang kreativitas dan peran. Otaknya berputar ketika melihat seutas kabel. Keseimbangan otak bisa didapat dengan ketrampilan-ketrampilan semacam ini. Otak kiri berkembang saat tangan-tangan mulai bergerak membuat rangkaian. Otak kanan pun demikian ketika pertama kali membayangkan bagaimana kabel bisa diubah menjadi sebuah permainan juga ketika memainkannya setelah robot sederhana itu berhasil diciptakan. Teruslah berkarya, Nak!

Dua puluh bulan

Dua puluh bulan  


     Salah satu hal penting dalam proses home education adalah mendokumentasikan setiap proses belajar anak-anak. Ini sebagai salah satu bentuk evaluasi proses belajar yang sedang berjalan. Evaluasi tertulis yang disertai dengan foto-foto kegiatan sangat diperlukan sebagai salah satu cara mengukur perkembangan belajar anak-anak. Berbeda dengan evaluasi yang ada pada proses belajar di sekolah, evaluasi berupa portofolio karya ini memiliki nilai lebih, tidak hanya mengandalkan proses evaluasi sesaat (baca: nilai rapor) hitam di atas putih saja, tapi lebih pada evaluasi tentang proses belajar yang dijalani anak. Orientasi bukan pada hasil, tetapi lebih mengandalkan setiap proses dan jerih payah yang dilakukan. Semua itu perlu dihargai. Setiap yang layak dipelajari layak pula untuk dirayakan. Ini melatih anak dan orang tua untuk senantiasa menggunakan nilai-nilai positif dalam setiap proses belajar. Dan lebih dari itu, proses evaluasi melalui catatan portofolio melahirkan energi positif yang luar biasa baik bagi orang tua maupun anak, karena setiap kejadian yang dituangkan dalam bentuk tulisan akan melahirkan kebahagiaan. 



Meski demikian faham tentang pentingnya mengabadikan setiap proses belajar anak-anakku lewat catatan portofolio, toh aku masih lemah untuk bisa menjalaninya dengan baik. Terbukti sampai saat ini, dua puluh bulan home   education berjalan, baru 2 artikel yang aku pasang di blog ini. Bukan berarti di tempat lain sudah tersimpan banyak, tidak, blog ini bisa digunakan sebagai ukuran, seberapa banyak kegiatan anak-anak yang telah kutulis. Yah…aku memang kecewa, kecewa pada diriku sendiri yang tak kunjung bisa fokus mengurusi setiap proses belajar mereka. Tapi kekecewaan hanya membuahkan keburukan. Aku berusaha merenung, mengapa ini tak kunjung bisa kutekuni padahal ini adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku, aku sangat senang melakukannya…O ya, ternyata ada kendala-kendala yang belum bisa aku atasi, ada kesibukan lain yang memaksaku untuk membuat rating prioritas, dan kelak fokus mengurus blog ini akan aku dapati juga. Tidak apalah…sementara begini dulu, tidak masalah. Kembali ke tujuan utama home education kami, belajar dengan menyenangkan, belajar tanpa tekanan, belajar tanpa paksaan, nikmati saja, karena aku juga sedang belajar… 


Ya, begitulah. Aku merasa grafik kebahagiaanku senantiasa menanjak sejak kami menjalani home education. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa mengetahui setiap perkembangan anak-anakku. Kebahagiaanku selalu bertambah karena setiap hari aku bisa belajar bersama anak-anak. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Kami bersama-sama memulai. Kami bersama-sama menjalani. Sebuah pelajaran berharga atas permasalahan keluarga yang tak kunjung usai dari kehidupan kami juga menjadi bagian dari proses belajar itu. Kondisi ekonomi yang sering menjadi masalah bahkan bisa menjadi proses belajar yang luar biasa. Bisa dibilang aku dan suami memang sedang belajar bagaimana keluarga kami bisa mencapai skor financial 
yang ideal. Bersamaan dengan itu pula kami juga berusaha membimbing anak-anak untuk memiliki skor financial yang ideal sejak sekarang. Sebagian orang mengatakan, bagaimana bisa mengajarkan kepada anak kita sesuatu yang belum bisa kita lakukan, baguskan diri dulu baru diajarkan kepada anak. Tapi kami mempunyai pandangan yang berbeda. Kami memulai bersama, sama-sama dari nol. Bisa jadi selama perjalanan itu anak-anak berjalan lebih cepat dan kami justru belajar dari mereka, tidak masalah. Justru di situlah kebahagiaan itu muncul. 

Dalam menjalani proses belajar bersama kita selalu bisa menciptakan kebahagiaan. Sedih dan kecewa, gembira dan suka cita selalu kita maknai dengan kebahagiaan. Kita tidak perlu menutup-nutupi jika memang kita tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan yang diajukan anak, kita bisa bersama-sama mencari jawabannya. Kita juga tidak perlu berpura-pura menjadi orang yang serba tau hanya dengan mendahului anak belajar sebelum mengajar karena anak selalu bersama kita 24 jam. Keindahan belajar bersama itulah yang membuat kebahagiaan selalu ada. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur dengan kesempatan yang telah Allah berikan untuk menjalani proses pendidikan home education. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kami untuk memberikan yang terbaik kepada putra putri kami.

Kamis, 14 Juli 2011

Fathin Pun Menyusul

Setelah 2 bulan 'Abdan menikmati hari-harinya bersama Abi, giliran si sulung merasa "iri". Dia bilang, " Enak 'Abdan... Bisa ikut Abi kemana-mana..." Lho kok begitu, jadi ia merasa kalau ikut Abi itu jauh lebih enak ketimbang sekolah...?? Wah... berarti ada yang salah ini. 


Memang sih, sejak merasakan bahwa biaya sekolah semakin meninggi dan kami mengalami kesulitan untuk membayarnya, maka kamipun mulai banyak belajar tentang homeschooling. Seringkali kami menjadikan homeschooling sebagai topik pembicaraan anatara aku dan suami. Saat itu Fathin duduk di kelas 3 SD. Rasa kurang nyaman dengan kondisi pembelajaran di sekolah memang sudah kami rasakan. Aku sebagai ibu seringkali merasa bersalah ketika harus memaksa anakku mengikuti kemauan sekolah yang aku sendiri sebenarnya tidak nyaman, sebagai contoh adalah ketika Fathin harus mengerjakan pe-er, ia paling sulit...dan tidak ada gairah, aku harus memaksa-maksa kalau tidak ingin ia pergi ke sekolah sambil membawa kembali pe-er yang belum dikerjakan. Ya dipaksa-paksa, soalnya waktuku tidak banyak (aku juga mengajar di TK yang satu yayasan dengan sekolah Fathin). Malam hari selepas isya' kami sekeluarga sudah pada ngantuk, jadi mengerjakan pe-er seringnya di pagi hari, saat sedang repot-repotnya. Kalau sedang tidak ada pe-er adalagi yang bikin ribut... tidak segera menata buku yang harus dibawa... tidak segera mandi... seragam, sepatu, dasi, suka nyelip ga tau kemana... Akhirnya, yang sering terjadi adalah Fathin datang di sekolah terlambat... Padahal rumah kami bersebelahan dengan sekolah...Wow luar biasa... Berapa kali saja aku sebagai orang tua dipanggil gara-gara Fathin telat... Wuih... ya malu lah...meski yang memanggil teman-teman sendiri, tapi saking keseringan jadi nggak nyaman... Seringkali anaknya aku ajak ngobrol, tapi tetap saja, kalau sudah ada yang dikerjakan (biasanya bermain-main atau menggambar) tidak bisa beranjak dari tempatnya. Begitupun kalau pulang, selalu akhir, entah karena tugas nulis belum kelar atau karena menemukan permainan asyik di halaman sekolah. Huuuhhh... Selalu jengkel dibuatnya. Akhirnya aku pakai jurus instan, ngancam-ngancam, kalau pagi hari, sambil panik persiapan karena jam 07.00 harus sudah siap breafing pagi di tempatku mengajar, aku teriak-teriak... " Ayo segera mandi, menata buku dan berangkat... Pokoknya kalau Ummi sudah berangkat dan selesai breafing pagi kamu belum kelihatan di sekolah, tak laporkan ke gurumu bahwa kamu sudah nggak pengen sekolah..." Kalau sudah digitukan, pasti deh dia akan teriak-teriak juga " Gak... gak mau...gak mau...," " Iya...makanya segera berangkat, nak." Kalau dia sudah panik begitu, barulah suaraku menurun... Yah, begitulah hari-hari Fathin.


Rasa bersalah selalu menggelayuti pikiranku, akankah seperti ini yang selalu terjadi, sepertinya Fathin memang terpaksa untuk berangkat sekolah. Galau akau dibuatnya, belum lagi kalau ada laporan dari gurunya, " Mas Fathin kalau waktunya menulis selalu ramai, mengganggu teman-temannya..." atau " Mas Fathin menulisnya lama...karena sambil ngobrol dan menggambar..." Begitulah... Laporan buruk selalu kuterima tentang anakku.... 


Sejak saat itu aku semakin banyak mempelajari tentang homeschooling. Kecenderungan terhadap model pendidikan yang telah lama kami pendam itu kini semakin menwarnai pola pikir. Aku seringkali flash back ke masa lalu, dimana aku selalu merasa terbebani atas apa yang menjadi kewajibanku sebagai seorang pelajar. Belajar banyak hal berarti harus bisa banyak hal... kalau diajarkan berarti harus bisa apa yang diajarkan, karena nilai jekel adalah aib. Aku sempat sangat terbebani kalau tidak bisa tuntas menguasai semua mata pelajaran. Meski selama sekolah prestasi akademikku lumayan bagus tapi beban-beban yang kurasakan juga cukup berat. Itu kurasakan sangat menyiksa, dan lebih kecewa lagi ketika akhirnya kudapati hari ini diriku seperti harus memulai dari nol untuk mempelajari segala hal yang kubutuhkan. Prestasi akademik di masa lalu tidak pernah bisa membantu. Rumus fisika yang dulu kuhafal sekarang sudah tidak kubutuhkan, rumus kimia, hafalan geografi dan yang lainnya harus kuhafal ulang kalau aku mau mendalaminya. Apalagi aku tidak kuliah, hampir tidak ada yang berguna apa-apa yang aku pelajari saat aku masih sekolah... Jadi apa gunanya menghabiskan waktu sekian lama, menghabiskan uang sekian juta, kalau akhirnya tidak mendapatkan apa-apa? Padahal dulu aku berprestasi...Lalu bagaimana dengan anakku...yang tidak pernah mendapatkan penghargaan berupa prestasi sebagai satu-satunya penghargaan tertinggi di sebuah institusi bernama sekolah itu...? Apa yang akan didapatkan anakku disana? Apa yang akan dibawanya sebagai bekal kehidupannya di masa mendatang? Ohhh... 


Semua ketidaknyamanan itu berkecamuk, menghasilkan sebuah kekuatan untuk segera  menarik anakku dari bangku sekolah. Awalnya kami menggunakan alasan dana. Kanyataannya kami memang keberatan dengan biaya yang harus kami keluarkan dengan jumlah anak yang lumayan banyak. Sebenarnya kami bisa saja meyakinkan diri untuk masalah ini, jika kita meniatkan semuanya demi kebaikan,  dana pasti bisa dicari, Allah pasti akan memberikan jalan, tidak ada yang tidak mungkin. Tetapi sayangnya kami telah merasa sayng (eman:jawa) untuk sekian banyak dana yang harus dikeluarkan. Padahal dengan dana yang lebih sedikit kita bisa mengantarkan anak-anak menuju masa depan yang lebih terarah. Dana yang ada bisa dialokasikan kepada hal-hal yang penting untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Bukan dialokasikan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.


Ya begitulah. Semester 2 kelas 3 SD Fathin resmi mundur dari sekolah. Ada beberapa tawaran beasiswa setelah Fathin keluar, dengan tujuan agar Fathin bisa kembali ke sekolah. Tapi ternyata setelah kami evaluasi tujuan utama menarik Fathin dari sekolah memang bukan semata-mata karena dana. Masalah dana ada, tetapi tidak sekuat permasalahan lain yang melatarbelakanginya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para donatur yang siap membiayai anak-anak untuk bisa kembali ke sekolah. Terimakasih banyak atas kepeduliannya, bukan maksud kami merendahkan maksud baik saudara-sudaraku... Ini hanyalah upaya kami untuk memberikan bekal yang terbaik kepada anak-anak kami, menurut kami, orang tuanya, yang bertanggung jawab atas mereka. Terimakasih kepada saudara-saudara kami yang telah mendukung keputusan ini... semoga Allah SWT senantiasa menuntun langkah-langkah kita menempuh ikhtiyar-ikhtiyar yang diridhoi-NYA, amin.