Kamis, 14 Juli 2011

Fathin Pun Menyusul

Setelah 2 bulan 'Abdan menikmati hari-harinya bersama Abi, giliran si sulung merasa "iri". Dia bilang, " Enak 'Abdan... Bisa ikut Abi kemana-mana..." Lho kok begitu, jadi ia merasa kalau ikut Abi itu jauh lebih enak ketimbang sekolah...?? Wah... berarti ada yang salah ini. 


Memang sih, sejak merasakan bahwa biaya sekolah semakin meninggi dan kami mengalami kesulitan untuk membayarnya, maka kamipun mulai banyak belajar tentang homeschooling. Seringkali kami menjadikan homeschooling sebagai topik pembicaraan anatara aku dan suami. Saat itu Fathin duduk di kelas 3 SD. Rasa kurang nyaman dengan kondisi pembelajaran di sekolah memang sudah kami rasakan. Aku sebagai ibu seringkali merasa bersalah ketika harus memaksa anakku mengikuti kemauan sekolah yang aku sendiri sebenarnya tidak nyaman, sebagai contoh adalah ketika Fathin harus mengerjakan pe-er, ia paling sulit...dan tidak ada gairah, aku harus memaksa-maksa kalau tidak ingin ia pergi ke sekolah sambil membawa kembali pe-er yang belum dikerjakan. Ya dipaksa-paksa, soalnya waktuku tidak banyak (aku juga mengajar di TK yang satu yayasan dengan sekolah Fathin). Malam hari selepas isya' kami sekeluarga sudah pada ngantuk, jadi mengerjakan pe-er seringnya di pagi hari, saat sedang repot-repotnya. Kalau sedang tidak ada pe-er adalagi yang bikin ribut... tidak segera menata buku yang harus dibawa... tidak segera mandi... seragam, sepatu, dasi, suka nyelip ga tau kemana... Akhirnya, yang sering terjadi adalah Fathin datang di sekolah terlambat... Padahal rumah kami bersebelahan dengan sekolah...Wow luar biasa... Berapa kali saja aku sebagai orang tua dipanggil gara-gara Fathin telat... Wuih... ya malu lah...meski yang memanggil teman-teman sendiri, tapi saking keseringan jadi nggak nyaman... Seringkali anaknya aku ajak ngobrol, tapi tetap saja, kalau sudah ada yang dikerjakan (biasanya bermain-main atau menggambar) tidak bisa beranjak dari tempatnya. Begitupun kalau pulang, selalu akhir, entah karena tugas nulis belum kelar atau karena menemukan permainan asyik di halaman sekolah. Huuuhhh... Selalu jengkel dibuatnya. Akhirnya aku pakai jurus instan, ngancam-ngancam, kalau pagi hari, sambil panik persiapan karena jam 07.00 harus sudah siap breafing pagi di tempatku mengajar, aku teriak-teriak... " Ayo segera mandi, menata buku dan berangkat... Pokoknya kalau Ummi sudah berangkat dan selesai breafing pagi kamu belum kelihatan di sekolah, tak laporkan ke gurumu bahwa kamu sudah nggak pengen sekolah..." Kalau sudah digitukan, pasti deh dia akan teriak-teriak juga " Gak... gak mau...gak mau...," " Iya...makanya segera berangkat, nak." Kalau dia sudah panik begitu, barulah suaraku menurun... Yah, begitulah hari-hari Fathin.


Rasa bersalah selalu menggelayuti pikiranku, akankah seperti ini yang selalu terjadi, sepertinya Fathin memang terpaksa untuk berangkat sekolah. Galau akau dibuatnya, belum lagi kalau ada laporan dari gurunya, " Mas Fathin kalau waktunya menulis selalu ramai, mengganggu teman-temannya..." atau " Mas Fathin menulisnya lama...karena sambil ngobrol dan menggambar..." Begitulah... Laporan buruk selalu kuterima tentang anakku.... 


Sejak saat itu aku semakin banyak mempelajari tentang homeschooling. Kecenderungan terhadap model pendidikan yang telah lama kami pendam itu kini semakin menwarnai pola pikir. Aku seringkali flash back ke masa lalu, dimana aku selalu merasa terbebani atas apa yang menjadi kewajibanku sebagai seorang pelajar. Belajar banyak hal berarti harus bisa banyak hal... kalau diajarkan berarti harus bisa apa yang diajarkan, karena nilai jekel adalah aib. Aku sempat sangat terbebani kalau tidak bisa tuntas menguasai semua mata pelajaran. Meski selama sekolah prestasi akademikku lumayan bagus tapi beban-beban yang kurasakan juga cukup berat. Itu kurasakan sangat menyiksa, dan lebih kecewa lagi ketika akhirnya kudapati hari ini diriku seperti harus memulai dari nol untuk mempelajari segala hal yang kubutuhkan. Prestasi akademik di masa lalu tidak pernah bisa membantu. Rumus fisika yang dulu kuhafal sekarang sudah tidak kubutuhkan, rumus kimia, hafalan geografi dan yang lainnya harus kuhafal ulang kalau aku mau mendalaminya. Apalagi aku tidak kuliah, hampir tidak ada yang berguna apa-apa yang aku pelajari saat aku masih sekolah... Jadi apa gunanya menghabiskan waktu sekian lama, menghabiskan uang sekian juta, kalau akhirnya tidak mendapatkan apa-apa? Padahal dulu aku berprestasi...Lalu bagaimana dengan anakku...yang tidak pernah mendapatkan penghargaan berupa prestasi sebagai satu-satunya penghargaan tertinggi di sebuah institusi bernama sekolah itu...? Apa yang akan didapatkan anakku disana? Apa yang akan dibawanya sebagai bekal kehidupannya di masa mendatang? Ohhh... 


Semua ketidaknyamanan itu berkecamuk, menghasilkan sebuah kekuatan untuk segera  menarik anakku dari bangku sekolah. Awalnya kami menggunakan alasan dana. Kanyataannya kami memang keberatan dengan biaya yang harus kami keluarkan dengan jumlah anak yang lumayan banyak. Sebenarnya kami bisa saja meyakinkan diri untuk masalah ini, jika kita meniatkan semuanya demi kebaikan,  dana pasti bisa dicari, Allah pasti akan memberikan jalan, tidak ada yang tidak mungkin. Tetapi sayangnya kami telah merasa sayng (eman:jawa) untuk sekian banyak dana yang harus dikeluarkan. Padahal dengan dana yang lebih sedikit kita bisa mengantarkan anak-anak menuju masa depan yang lebih terarah. Dana yang ada bisa dialokasikan kepada hal-hal yang penting untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Bukan dialokasikan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.


Ya begitulah. Semester 2 kelas 3 SD Fathin resmi mundur dari sekolah. Ada beberapa tawaran beasiswa setelah Fathin keluar, dengan tujuan agar Fathin bisa kembali ke sekolah. Tapi ternyata setelah kami evaluasi tujuan utama menarik Fathin dari sekolah memang bukan semata-mata karena dana. Masalah dana ada, tetapi tidak sekuat permasalahan lain yang melatarbelakanginya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para donatur yang siap membiayai anak-anak untuk bisa kembali ke sekolah. Terimakasih banyak atas kepeduliannya, bukan maksud kami merendahkan maksud baik saudara-sudaraku... Ini hanyalah upaya kami untuk memberikan bekal yang terbaik kepada anak-anak kami, menurut kami, orang tuanya, yang bertanggung jawab atas mereka. Terimakasih kepada saudara-saudara kami yang telah mendukung keputusan ini... semoga Allah SWT senantiasa menuntun langkah-langkah kita menempuh ikhtiyar-ikhtiyar yang diridhoi-NYA, amin.