Selasa, 08 Desember 2015

Meng-Aqillbaligh-kan Anak

Materi pertama dari Psikolog lulusan UI, Drs. Adriano Rusfi, S.Psi atau yang sering di sapa Bang Aad. Beliau menyampaikan materi Melahirkan Generasi Aqil Baligh untuk Peradaban Indonesia yang Lebih Hijau dan Lebih Damai.

Konsultan SDM dan Pendidikan Independen yang pernah menjadi Pimpinan Umum Majalah Ummi ini membuka materi dengan pertanyaan: “Apa yang membuat anak-anak kita tertarik dengan ISIS atau NII? Mengapa seorang anak usia 13 tahun bisa mengendarai mobil balap dan menewaskan banyak orang? Mengapa tawuran? Mengapa pakai narkoba?”
Berdasarkan pengalaman beliau bekerja pada BNN di bagian prevensi, penangkapan ternyata hanya memiliki efek keberhasilan 2%. Bahkan rehabilitasi tingkat keberhasilannya hanya 6%. Artinya jika 100 orang di rehabilitasi, 94 orang akan kembali jadi pemakai.

Kalau dulu Bung Karno bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sekarang kita bilang, “Beri aku satu remaja, pusing awak dibuatnya.”
Pemuda memang identik dengan semangat perubahan. Ini merupakan salah satu penyebab mengapa pada masa Rasullullah, Islam lebih berkembang di Madinah daripada di Mekah. Saat itu di Madinah lebih banyak penduduk mudanya, dibandingkan dengan Mekah yang lebih banyak penduduk berusia lanjutnya.

Di masa awal kemerdekaan, kita bisa lihat bagaimana para pemuda seperti Bung Karno, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain mampu memimpin perundingan antar negara pada usia mudanya. Mereka menyerukan sumpah pemuda untuk mempersatukan bangsa. Tercatat dalam sejarah bagaimana geniusnya mereka memilih bahasa melayu yang egaliter sebagai bahasa persatuan.
Lantas mengapa kualitas generasi muda kita menurun?
Konsep remaja

Istilah remaja itu adalah istilah yang dikenal pada akhir abad 19. Sebelumnya tidak ada istilah itu. Dalam sebuah penelitian ilmiah pada suku-suku terasing di Samoa, Papua, Baduy dalam, ciri-ciri keremajaan itu tidak tampak pada masyarakat disana. Dalam dunia kedokteran hanya ada istilah Pedagogi untuk anak dan Andragogi untuk Dewasa. Tidak ada istilah remaja.

Remaja dalam fenomena sosial sekarang lebih merupakan tragedi. Sebuah generasi banci sosial, tidak produktif, bahkan konsumtif dan destruktif, bukan anak tapi belum dewasa.

Kalau anak minta duit, kita bilangnya “Kamu sudah besar, minta duit melulu”
Kalau anak minta kawin, kita bilangnya “Kamu masih kecil, sudah minta kawin”
Konsep remaja itu mendapat pembenaran ilmiah, sosial bahkan agama. Kita jadi mengenal istilah remaja mesjid. Di sini lemahnya science yang hanya bicara soal fakta. Jika dalam populasi ada 10% banci, maka kita akan menyebutkan bahwa jenis kelamin itu ada 3. Demikian juga dengan remaja, yang sebenarnya tidak ada.
Aqil Baligh dalam Islam

Islam mengenal istilah Aqil Baligh. Baligh adalah kedewasaan fisik, sedangkan Aqil adalah kedewasaan mental. Masalah terjadi ketika Baligh dan Aqil ini tidak sepaket. Baligh berhubungan dengan nutrisi. Para bunda over sukses dengan memberi nutrisi pada anak, sehingga kini  masa baligh bisa terjadi pada usia sangat dini seperti 9 tahun.

Sedangkan Aqil berhubungan dengan kedewasaan mental, yang menurut teori psikologi makin lama makin lambat munculnya. Kedewasaan mental kini muncul di usia 22-24 tahun. Di sinilah masalah muncul. Kita pun mengenal istilah remaja. Sudah Baligh tapi belum Aqil. Terciptalah periode transisional dalam rentang yang panjang. Dalam Al Quran juga disebutkan mengenai perlunya kita berlindung dari masa-masa transisi seperti ini.

Dalam Islam, Aqil dan Baligh disiapkan dalam 1 paket. Tidak bisa dipisah-pisah. Paling lambat usia 15 tahun Aqil dan Baligh itu sudah bisa tercapai. Bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung-jawab meng-aqilbaligh-kan anak?

Perlu dipahami bahwa penanggung jawab utama pendidikan adalah ayah. Bukan bunda! Bunda adalah pelaksana pendidikan. Dalam sejumlah referensi islami ditemukan tokoh parenting yang terkenal adalah laki-laki.

 Ada nama Lukmanul Hakim, seorang budak berkulit hitam yang petuah-petuahnya untuk anak-anaknya menjadi referensi parenting hingga kini. Namanya bahkan diabadikan dalam Al Quran.
Saat ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi sekedar buruh. Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas kurang. Tidak ada kualitas tanpa kuantitas yang cukup.

Bersama para pakar parenting lain, Bang Aad terpikir juga untuk menciptakan model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu lebih untuk mendidik anak-anaknya. Tapi jangan juga jadi ayah yang serakah. “Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat 60 juta nih.”
Terkadang para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.” Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena merasa pencari nafkah.

Salah satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan urusan cari uang. Makanya pikir matang-matang kalau mau berpoligami.

Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak. Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang. Jadi dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu luang disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa anak-anak mereka. Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah sebagai kegiatan utama tempat orang tua buang anak. Sehingga orang tua-nya bisa tenang mencari uang untuk bayar sekolah. Sebuah ironi.

Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci pada kebatilan. Jangan dipisah-pisah.
Kenapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?
Kenapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?
Ini karena kita sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.

Kita lebih mengutamakan ibadah dan ahlak, sementara akidah tertinggal dibelakang. Ibadah dan ahlak ini yang menjadi jualan sekolah-sekolah sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. Padahal yang penting itu akidah atau pondasinya. Namanya juga pondasi, sering tidak kelihatan pada awalnya.
Sekolah akan mengajarkan sholat, tapi tidak bisa bertanggung jawab untuk kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang aneh ketika mendengar komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus dan sudah hafizd Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”
Pendidikan kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda di elus oleh ibu dengan dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja.
Allah menitipkan hikmah pada orang tua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa didelegasikan pada siapapun. Dengan harga berapapun.

Saya jadi ingin menambahkan status facebook keren Bang Aad, 1 Desembar 2015 lalu,
Dulu, saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur'an ketika berusia 3 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya AlQur'an
Dulu, saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika berusia 5 tahun, dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya perintah Allah
Dulu, saat anak-anak temannya telah hafal hadits Arba'in ketika berusia 7 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya Rasulullah
Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda

Libatkan anak dalam masalah

Pria kelahiran 1964 ini pernah punya status viral mengenai menikah. Kalau kita masukkan nama Adriano Rusfi di Google, akan nongol tulisan ini.

“Saya baru punya mobil usia 42 tahun. Rumah baru punya 2 tahun lalu, sebelumnya ngontrak”, kata lulusan psikologi UI kelahiran tahun 1964 ini.
Dulu teman-temannya bilang, “Lu makanya yang fokus dong cari duit.”
Kalau sekarang teman-teman kagum dan bilang, “Lu bakatnya banyak banget sih?” Bang Aad sekarang bisa membalas “Mungkin dulu Lu kecepetan fokus sih.”
Generasi dewasa hijau perlu di gerakkan hatinya, jangan hanya otak. Akal sehat tidak identik dengan kecerdasan akademis. Perilaku hijau adalah perilaku perduli pada sesama.

Salah satu cara yang disampaikan Bang Aad adalah dengan tidak menyembunyikan masalah dari anak. Rem masa baligh anak dengan membantu orang tua menyelesaikan masalahnya.

Pada masa kecil Rasulullah ia adalah penggembala ternak. Beliau melatih empatinya dengan memelihara binatang. Saat ini kita bisa begitu alergi dengar kata ‘gembala’ atau bahkan ‘bunda’. Padahal sebenarnya arti gembala itu adalah memuliakan, memakmurkan.

Jadi kurang tepat juga ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang menderita, kamu belajar saja yang rajin.” Pria yang sempat mengurus Sistem kaderisasi Mesjid Salman dan Orientasi Mahasiswa Baru ITB ini menyebutkannya sebagai kalimat kurang ajar. Mengapa si ayah tidak mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya orang sukses hanya dari gelimangan kemudahan.
“Supaya beban finansial saya cepat beres, saya fokus meng-aqilbaligh-kan anak”. Anak Bang Aad dari usia SMP sudah menjadi loper koran, membuka jasa servis tamiya, membantu scoring lembar psikotest. Sehingga anak jadi timbul empatinya.
Setiap permintaan akan dimulai dengan pertanyaan: “Abi ada duit nggak?”
Apapun yang anak minta harus 10% uang dia. Bang Aad cerita bagaimana anaknya ingin sepeda motor. “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10% uang sendiri.” Anaknya jadi mikir juga. Yang 16 juta, harus ada 1,6 juta. Akhirnya si anak memilih yang 9 juta saja, karena merasa mampu menyediakan 10%-nya. Abi senang, anak senang.

Konglomerat Tionghoa itu sadis-sadis sama anaknya. Kalau anak mereka minta macam-macam, jawabnya “Sudah bagus Bapak kasih segitu.” Kita saja yang  Melayu ini suka memanjakan anak. Bang Aad sempat bercerita tentang tetangganya yang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung buat anaknya supaya jadi ojek payung.
Ketika anak sudah memasuki usia aqil baligh, anak dikasih tahu. “Kamu ini sebenarnya sudah bisa Ayah suruh pindah, tapi sekarang masih boleh tinggal dirumah. Hanya statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur. Jadi tau diri lah sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”
Ajari anak cari uang, ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah. Anak mulai bisa diajarkan kemandirian saat usia diatas 7 tahun.

 “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Yakinlah setiap anak sudah terlahir muslim. Itu sudah fitrahnya. Didik anak dengan penuh optimis, tidak perlu rekayasa. Dan jangan lupa untuk meminta kepada Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik anak-anak.

Sumber : http://shantybelajarmenulis.blogspot.co.id/2015/12/oleh-oleh-kuliah-umum-fitrah-based.html?m=1

Senin, 07 Desember 2015

SEHELAI RAMBUTMU LEBIH MULIA DARI JUBAH ULAMA


Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal RahimahuLLAH dikunjungi seorang wanita yang ingin mengadu.

“Ustadz, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya, saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan menyambi sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada.
Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.”

Imam Ahmad RahimahuLLAH menyimak dengan serius penuturan ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan.

Dia adalah seorang Ulama besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada wanita itu, namun ia urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan pengaduannya.

“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.

Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?

Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?
Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”

Imam Ahmad RahimahuLLAH terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram.

Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.
Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad RahimahuLLAH bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?” Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”

Imam Ahmad RahimahuLLAH makin terkejut. Basyar Al-Hafi RahimahuLLAH adalah Gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yg tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad RahimahuLLAH berkata,

“Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para Ulama.

SubhanaLLAH, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara…”
Kemudian Imam Ahmad RahimahuLLAH melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada wanita semulia engkau…”.

Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, dari RasuluLLAH ShallaLLAHu 'Alayhi waSallam, Beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam Surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
[Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730]

Wahai Diri !!!!
Jangan Cari Kekayaan, Carilah Keberkahan. Bagikan nikmat ALLAH yg kau terima kpd saudara, kerabat, tetangga,teman dan yang lain... disitulah keberkahan...

Semoga Bermanfaat..

Disalin dari pesan viral whatsapp

Sabtu, 17 Januari 2015

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita 
Oleh: Salim A. Fillah

Pict by https://rachmisanti12.wordpress.com/


REMAJA

Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”
 Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis ‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa.

Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula.
 Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan keturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QS.An Nisaa’ 9)

Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.

Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tata ulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya , tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.

Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya.
Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.”
Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?

Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”
Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar.
Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.
Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu.
Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.

Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati.

Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata. Aamiin. Sepenuh cinta.