Sabtu, 31 Desember 2011

Medali Emas

Medali Emas - Sindo 24 November 2011


Berjalan mengelilingi Kota Namlea, tiba-tiba seseorang menyebut nama mantan seorang atlet sepak bola terkenal,yang pernah jaya di era tahun 1970-an. Semua orang lalu hanyut menceritakan prestasinya. 

Saya masih ingat namanya sering disebut radio dan koran.Tetapi, benarkah itu atlet yang dulu menjadi pujaan masyarakat? Berambut gimbal, baju compang-camping, dan lusuh, kaki penuh debu. Seorang teman menyebutkan persoalan yang dia hadapi. Setelah masa kejayaan,dia harus kembali ke masyarakat. Ijazah sekolah tidak ada, pengalaman kerja apalagi.Yang ada di sakunya hanya medali emas yang pernah didapatkan tim PSSI saat dia bergabung. 

Tetapi, sekarang medali itu sudah tidak ada lagi. Depresi, gila, atau entah apa namanya.Hidup terlunta- lunta tak ada perhatian. Nama besar tinggal sejarah. Lain lagi dengan Jumain, mantan atlet dayung nasional yang sering meraih medali emas. Meski tidak seburuk pemain bola tadi, Jumain yang pernah memperkuat SEA Games XV (1989) hanya bisa bekerja sebagai penjaga kapal di pantai Marina–Semarang dengan upah Rp500.000.

Nasib Jumain tidak lebih baik dari Marina Segedi yang meraih medali emas pencak silat pada SEA Games XIII (1981) di Filipina. Meski perempuan, Marina kini berprofesi sebagai sopir taksi di Jakarta. Nasib atlet-atlet tua yang saya sebut di atas sungguh menyesakkan dada, selain gelanggang olahraga nasional pasca-SEA Games atau PON yang tak terurus, ternyata atlet-atlet yang pernah berprestasi juga kurang mendapat perhatian. 

Saya juga pernah membaca mantan juara tinju kelas Bantam Yunior (1987) yang menjadi pemulung dan sebagainya. Nasib mereka tak sehebat Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Icuk Sugiarto yang sukses hidup sebagai pengusaha. Sementara hari ini, 24 November 2011, atlet-atlet peraih medali emas SEA Games akan mendapatkan insentif sebesar Rp200 juta per orang per medali. Kita perlu mengingatkan bahwa uang sebesar itu bisa saja mengubah hidup menjadi lebih baik, namun bisa juga sebaliknya. 

PLC 
Ibarat produk, setiap atlet juga memiliki PLC (product life cycle) yang relatif pendek. Atlet adalah profesi yang ”cemerlang” di usia muda.Paling panjang, seorang atlet di dunia amatir dapat bertahan antara 10–12 tahun.Lewat usia tertentu, siklus hidupnya akan berakhir. Padahal usia muda hanya sementara, dan untuk meraih prestasi, seorang atlet harus mengabdikan hampir seluruh masa mudanya untuk olahraga. 

Seperti atlet golf perempuan asal Korea Selatan, Seri Park, yang meninggalkan dunia sekolah, atlet-atlet kita juga banyak yang melakukan hal serupa. Selain fokus, sebagian atlet diketahui juga berasal dari kalangan kurang mampu yang memperbaiki nasib keluarga melalui olahraga. Kalau olahraga yang ditekuninya favorit, dia bisa mencetak prestasi setiap tahun dalam kurun waktu tertentu. 

Dan kalau wajahnya khas dan ceritanya unik, mereka bisa mendapat rezeki sampingan, baik sebagai bintang iklan,bintang layar lebar, atau yang lebih beruntung lagi mendapat kan mertua yang hebat. Tetapi berapa banyak atlet yang beruntung seperti Ade Rai, Taufik Hidayat, atau Rudy Hartono? Tentu tidak banyak,bukan? Dalam kurun waktu PLC yang pendek itu kita perlu mengingatkan para atlet agar mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum masa emasnya berakhir. 

Jendela emas yang hanya berlangsung 10–12 tahun itu berlangsung begitu cepat, dan mereka perlu berpikir keras agar tidak bernasib seperti seniorsenior mereka yang kurang beruntung. Sikap setiap orang terhadap masa depan tentu berbeda- beda.Ada yang jauh-jauh hari sudah berpikir dan mempersiapkan diri, namun ada juga yang masih ingin bersenang- senang menikmati masa muda dengan uang yang berlimpah dan penuh pujapuji. 

Kalau seorang atlet meraih empat medali emas ditambah beberapa medali perak dan perunggu, dia hampir pasti akan membawa bonus minimal sebesar Rp1 miliar.Ini tentu bukan jumlah yang kecil. Namun, seperti orang pensiunan yang selama bertahuntahun hanya terlatih menjadi pegawai,sudah pasti seseorang akan mudah terjerumus dan kebingungan, seorang yang tidak bisa mengelola uang perlu dibekali dengan perencanaan keuangan yang sehat. 

Lakukanlah Investasi 
Orang-orang dulu percaya bahwa ”hemat adalah pangkal kaya”. Meski saya hampir tak pernah melihat orang yang menjadi kaya karena hidupnya sangat hemat, saya juga tidak melihat ada masa depan di tangan orang-orang yang boros. Atlet-atlet yang cerdas tentu perlu merencanakan tindakannya dengan penuh kehati-hatian. Yang jelas, konsumsi yang berlebihan bukanlah hal yang disarankan. 

Atlet yang cerdik dapat menggunakan uangnya untuk berinvestasi, baik dalam bidang pendidikan, bermain saham, atau investasi dalam usaha-usaha tertentu.Tetapi, sebagai seorang pemula, semua investasi itu harus melewati masa belajar yang panjang. Karena itu, tak ada hasil yang diperoleh dalam sekejap. 

Semua butuh kerja keras dan mampu mengelola rasa frustrasi, mengelola kesabaran. Apa yang diinvestasikan hari ini baru akan berbuah lima– enam tahun ke depan. Itu pun hanya akan berbuah kalau jalannya benar. Saya ucapkan selamat kepada para atlet yang berprestasi dan berhati-hatilah dalam mengelola uang karena dia bisa menjadi sumber harapan masa depan, namun juga bisa menjadi sumber masalah.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/446189/34/

Perbaiki Sekolah

Perbaiki Sekolah - Sindo 8 Desember 2011

Hari Rabu kemarin saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar. Apa yang menjadi keprihatinan orang tua dan guru?

Pertama, mereka ingin mengklarifikasi benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di dunia?. Kedua mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai di level juara Olimpiade matematika (dan fisika) saja? Dan Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan anak didik. 

Terberat – tersarat
Meski tidak tahu apakah kita masuk kategori “ter”, saya harus menyampaikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita memang berat. Saking beratnya, seorang ketua yayasan pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD Kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 Kilogram.

Selain jumlah pelajaran yang diwajibkan Undang-undang Sisdiknas terlalu banyak (16-20), buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman saya sebagai orang tua yang membimbing anak sendiri dalam belajar menemukan rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama. Sudah begitu, sebagian besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar? Jadi rumus yang benar dan salah seringkali sama-sama diajarkan.

Tak banyak guru yang menyadari bahwa 80% isi sebuah buku, intinya hanya berada pada 20% dari jumlah halamannya. Akibat ketidaktahuan ini  jelas fatal, seluruh isi buku dijejalkan pada kepala anak didik. Meski dari 16-20 mata pelajaran yang diajarkan di SMU (seorang tua  murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28 mata pelajaran) hanya 6 mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, kesepuluh hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk kedalam otak anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.

Lengkaplah sudah penderitaan anak-anak sekolah Indonesia. Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa mmbuat anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi dibawah 6, atau harus mengulang. Ada banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh, dan nilainya harus dibawah rata-rata murid lainnya. Kalau rata-ratanya 6, yang mengulang otomatis diberi nilai dibawah 6 tanpa diperiksa. Guru-guru kita masih beranggapan kalau murid ditekan maka anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih hebat. Padahal itu hanya mencerminkan ego-nya yang teramat besar dan dapat berakibat buruk bagi setiap anak-anak didik. 
Mata pelajaran-mata pelajaran yang maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relax dan fun, telah dirubah menjadi momok  yang menakutkan. Ia dijadikan setara dengan ilmu pasti yang sarat rumus dan padat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai. 

Untuk mengatasi hal ini saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai membuat pelajaran-pelajaranya disampaikan dengan cara yang lebih fun dan menyenangkan.


Juara Olimpiade
Ini tentu kabar yang menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade Matematika dan Fisika. Tetapi pertanyaannya kemana setelah itu? Apakah mereka akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru?
Meski semua itu dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita berikan di sini memang sangat tinggi. Sekedar Anda ketahui saja, aljabar yang kita pelajari di level SMP di sini, ternyata baru diajarkan pada level SMA di negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S3 di Amerika Serikat dan menjadi asisten Professor dengan mengajar di program S3, saya melihat anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan differensial dan Integral di tingkat Universitas. Kita mengajarkan topik itu, bersama dengan topik mengenai matrix sejak di bangku SLTA.
Seringkali saya ingin mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di Bulan atau di venus, dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak demikian.

Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi, karena tidak ada pengakuan.

 Menjadi Manusia Hebat
Akhirnya saya harus menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat?
Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?

Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/450011/34/

Jumat, 30 Desember 2011

Merebut Jiwa Anak


Meskipun pendidikan di perguruan tinggi turut berpengaruh pada sikap terutama wawasan seseorang, tetapi pengaruh paling kuat yang membekas pada kepribadian adalah masa kecil. Dan cerita anak-termasuk film yang mereka lihat-sangat menentukan kekuatan jiwa. Anakyang sudah kukuh jiwanya ketika memasuki masa remaja, insyaAllah mereka tidak mudah terpengaruh-apalagi terguncang-oleh hal-hal baru yang ada di sekelilingnya. Menjadi remaja tidak dengan sendirinya berarti mengalami kebingungan jati diri sehingga mereka sibuk mencari identitas-yang kemudian dijadikan sebagai alasan pembenar untuk melakukan apa saja yang tidak benar. Ada remaja-remaja yang tidak mengalami keguncangan. Mereka telah menemukan jati diri sebelum memasuki masa remaja. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.

Pertanyaan kita adalah mengapa ada yang harus terguncang dan kehilangan pegangan sehingga pelajaran agama yang mereke terima semenjak kecil seakan tak berbekas, sementara pada saat yang sama ada remaja lain yang tidak menggalami kebingungan identitas? Wallahu a'lam bish-sha-wab.  Penyebab yang sangat menentukan adalah pendidikan yang mereka terima di masa sebelumnya, sejauh mana memengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa mereka.

Sekedar cerdas secara kognitif atas nilai-nilai tauhid, tidak banyak berpengaruh bagi jiwa. Banyak pengetahuan tidak terlalu menentukan apa yang menjadi penggerak utama manusia untuk hidup-McClelland kemudian menganggapnya sebagai kebutuhan (need ). Seperti dokter penyakit dalam, sekedar pnegetahuan yang mendalam tentang bahaya merokok, tidak cukup untuk membuat mereka berhenti merokok. Itu sebabnya, perusahaan rokok dengan senang hati mencantumkan peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di iklan-iklan mereka.

Nah, salah satu cara yang efektif memengaruhi juwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita, semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa anak. Demikian pula semakin dini mereka membaca cerita-cerita berpengaruh tersebut, semakin kuat bekasnya pada jiwa. Kuatnya pengaruh ini akan lebih besar lagi jika anak-anak itu mengungkapkan kembali cerita dan kesan yang ia tangkap melalui tulisan. 'Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

Itu sebabnya, dua ketrampilan ini-yakni membaca dan menulis-perlu kita bangkitkan semenjak dini. Kita gerakkan jiwa mereka unuk membaca sejak anak-anak baru berusia beberapa hari. Kita rangsang minat baca mereka, dan kita ajarkan mereka bagaimana membaca sejak dini. Bukan semata untuk meningkatkan kecerdasan. lebih dari itu, mudah-mudahan kita tergerak untukmelakukannya karena Allah 'Azza wa Jalla telah menjadikan membaca (iqra') sebagai perintah pertama. Iqra' bismirabbikalladzii khalaq! Adapun kenyataan bahwa mengajarkan membaca semenjak dini terbukti meningkatkan kecerdasan kita berlipat-lipat, itu merupakan hikmah yang harus kita syukuri.

Tetapi...
Sekedar membuat anak kita terampil membaca dan menulis di usia dini, sama sekali tidak cukup. Kita harus berikankepada mereka  bacaan-bacaan bergizi bagi pikiran, perasaan, dan ruhani mereka. Tak cukup kalau kita sekedar mencerdaskan otak. Kita harus menghidupkan jiwa mereka sehingga tumbuh kebutuhan yang sangat kuat sebagai penggerak hidup mereka kelak. Kita harus menulis cerita-cerita yang bergizi. Sekarang juga! Tak ada waktu untuk menunggu, karena setiap detik waktu berlari meninggalkan kita...!!

Subhanallah...mencoba merefleksikan diri dengan mengurai ulang tulisan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam "Merebut Jiwa Anak," salah satu judul bab buku beliau Positive Parenting. Semoga mampu menggerakkan seluruh kekuatan yang mulai terpendam. Semoga menjadi amal sholih bagi beliau penulis yang membawa berkah bagi setiap orang  yang membacanya. Rabb...bantulah kami menuju ridho-MU...Amiin.